Senin, 12 September 2011

CINTA


CINTA

Hidup tanpa cinta bagai taman tak berbunga,” begitulah tutur para pujangga. Cinta merupakan sesuatu kata yang penuh misteri. Ia bagaikan inspirasi kehidupan umat  manusia di dunia. Lubuk hati manusia adalah muara segala cinta. Cinta memang kata-kata yang harus dijalani dan dilakukan oleh umat manusia.

Cinta itu punya makna dan hakikat. Cinta merupakan bagian dari rasa yang muncul dari hati yang paling dalam dan yang paling rahasia (as-sirr). Cinta adalah sesuatu yang membuat hati menjadi berenergi dan dinamis. Cinta merupakan sumsum kehidupan.
Pendapat lain mengatakan bahwa cinta (mahabbat) diturunkan dari hubb, yang berarti “Sebuah tempayan yang penuh dengan air yang tenang”. Bilamana cinta berpadu di dalam hati dan memenuhi hati, di situ tidak ada ruang lagi bagi pikiran tentang selain yang dicintai. Syibli mengatakan, “Cinta disebut mahabbat karena ia menghapus dari hati segala sesuatu kecuali yang dicintai.”
Karena cinta merupakan bagian dari rasa yang muncul dari hati yang paling dalam dan paling rahasia, adalah tidak mungkin mendefinisikan cinta sebagaimana tidak mungkinnya kita mendefinisikan rasa manis, asam, asin, atau pun rasa-rasa lainnya.
Namun demikian semua upaya untuk mengungkapkan cinta dengan batasan kata-kata menemui kegagalan, karena semua ungkapan, definisi, dan pernyataan-pernyataan cinta tersebut merupakan  buah atau hasil dari cinta, syarat, sebab, atau keadaan orang yang mengalaminya, bukan makna dari cinta itu sendiri.
Syaikh Al-Akbar, Ibnu Arabi mengatakan,”Cinta adalah deskripsi dari pencinta itu sendiri. Cinta hanya lenyap ketika pecinta lenyap dari eksistensi, tetapi pecinta tidak dapat lenyap karena cinta itu sendiri tidak lenyap. Yang dapat menghilang adalah hubungan antara pecinta dengan kekasih tertentu, yang digantikan dengan hubungan dengan kekasih yang lainnya. Jadi yang eksis adalah hubungan dengan sejumlah kekasih.
Cinta yang abadi dan paling tinggi adalah cinta kepada Tuhan. Sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Al-Akbar, Ibnu Arabi, “Tak seorang pun yang mencintai selain Tuhannya.’ Cinta pada Tuhan bukanlah cinta semu. Karena cinta semu adalah jika cinta seseorang tumbuh menjadi berlebihan, karena dipengaruhi dan didominasi oleh nafsu atau ego. Keinginan atau pun hasrat yang muncul tidak lagi bersifat fitri, tetapi sudah lebih banyak dikuasai oleh hawa nafsu dan syahwat. Cinta seperti inilah yang tercela, yaitu kecintaan kepada yang nisbi dan fana secara berkelebihan, karena hal ini bertentangan dengan fitrah manusia.
Plato mengatakan,”Manusia pada mulanya akan mengejar apa yang diinginkan dan dicintainya dengan dambaan dan harapan yang luar biasa. Namun, ketika yang dicintainya itu sudah didapatkan, maka kecintaan dan kesukaaannya akan segera berubah menjadi kebosanan dan kejenuhan.” Sebagaimana dengan tepat dikatakan oleh Imam Ali A.S bahwa, “Mata seseorang pecinta itu buta terhadap aib-aib kekasihnya, telinganya pun tuli terhadap kejelekan-kejelekan kekasihnya.”
Dalam buku ini penulis mencontohkan cinta yang membelenggu dengan kisah cinta antara Zulaikha kepada Yusuf. Zulaikha begitu tersihir oleh ketampanan rupa Yusuf. Bahkan bukan hanya Zulaikha, wanita-wanita yang diundang ke rumahnya pun terpana menyaksikan ketampanan rupa Yusuf sampai-sampai mereka tidak sadar telah melukai jari tangan mereka dengan pisau jamuan yang mereka pegang dan berkata,’ Maha sempurna Alllah, ini bukanlah manusia, sesungguhnya ini tidak lain hanyalah malaikat yang mulia.” (Qs. Yusuf: 30-31).
Sungguh cintanya Zulaikha kepada Yusuf telah menutup (menghijab) pandangannya dari manusia sehingga akal pikirannya tidak berfungsi. Hijabnya itu adalah cintanya yang sangat mendalam kepadda Yusuf dan cinta yang sangat mendalam itulah yang menutupi hatinya. Zulaikha menjadi tak sadar telah menjadi budak dari cintanya yang semu itu. Menyikapi hal ini Rasulullah pun telah bersabda, “Cintamu kepada sesuatu membutakkan dan memulikanmu”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar