Jumat, 14 Oktober 2011

PUISI KARYA-KARYA KHALIL GIBRAN (1833-1931) PART IV

KEHIDUPAN SEBUAH CINTA

MUSIM BUNGA

Marilah, sayang, mari berjalan menjelajahi perbukitan,
Salju telah cair dan Kehidupan telah terjaga dari lenanya
dan kini mengembara menyusuri pegunungan dan lembah-lembah,
Mari kita ikut jejak-jejak Musim Bunga, yang melangkaui
Ladang-ladang jauh, dan mendaki puncak-puncak perbukitan
'Tuk menadah ilham dari aras ketinggian,
Di atas hamparan ngarai nan sejuk kehijauan.

Fajar Musim Bunga telah mengeluarkan pakaiannya
dari lipatan simpanan, dan menyangkutnya
pada pohon pic dan sitrus , dan mereka kelihatan bagai pengantin dalam
upacara tradisi Malam Kedre..

Sulur-sulur daun anggur saling berpelukan bagai kekasih
Air kali pun lincah berlompatan menari ria,
Di sela-sela batuan, menyanyikan lagu riang.

Dan bunga-bunga bermekaran dari jantung alam,
Laksana buih-buih bersemburan, dari kalbu lautan

Kemarilah, sayang: mari meneguk sisa air mata
musim dingin, dari gelas kelopak bunga lili,
Dan menenangkan jiwa, dengan gerimis nada-nada
Curahan simfoni burung-burung yang berkicauan
dan berkelana riang dalam bayu mengasyikkan

Mari duduk di batu besar itu, tempat bunga violet
berteduh dalam persembunyian, dan meniru
Kemanisan mereka dalam pertukaran kasih rindu.

MUSIM PANAS

Mari pergi ke ladang, kekasihku, kerana
Musim menuai telah tiba, dan cahaya suria
Telah memanggang gandum kuning-kekuningan.
Mari kita mengerjakan hasil bumi, sebagaimana semangat kegembiraan
menyuburkan butir gandum
Dari benih cinta-kasih, yang tertanam dalam sanubari.
Mari mengisi guni kita dengan limpahan hasil bumi
bagai kehidupan mengisi penuh rongga hati,
Dengan harta kekayaan tak terperi,
Mari, jadikan bunga-bunga alas tilam kita
Dan langit biru selimut kita
Sandarkan kepala di bantal harum jerami,
Mari kita berehat setelah bekerja sepanjang hari,
Sambil mendengar bisik gemercik air sungai yang menyanyi.

MUSIM GUGUR
kita pergi memetik anggur di perkebunan
Dan memerah sari buah segar
Dan menyimpannya di jambangan tua
Sebagaimana jiwa menyimpan ilmu pengetahuan
Abad-abad lalu, dalam gedung keabadian.

Dan sekarang mari pulang, kerna sang bayu telah
Menerbangkan daun-daun kuning dan mengisar bunga-bunga layu
Yang membisikkan dendang kematian pada Musim Gugur
Mari pulang, kekasihku abadi, kerana burung-burung
Telah terbang bagi perjalanan migrasi menuju kehangatan
Meninggalkan padang yang dingin dan kesepian.
Bunga mirtel dan melati pun telah lama
Mengeringkan air matanya.

Mari kembali, sebab anak sungai yang sayu
Telah kehabisan lagu, dan sumber air yang lincah
Telah membisu, enggan mengucapkan kata perpisahan.
Sedang bukit-bukit tua telah mulai melipat
pakaiannya yang berwarna-warni.

Mari, kekasihku; Alam telah letih,
Ia bersemangat melambaikan selamat tinggal
Dengan dendangan sayup dan ketenangan.
MUSIM DINGIN

Dekatlah ke mari,oh teman sepanjang hidupku,
Dekatlah padaku, dan jangan biarkan sentuhan Musim Dingin,
Mencelah di antara kita. Duduklah disampingku di depan tungku,
Sebab nyalaan api adalah satu-satunya nyawa musim ini.

Bicaralah padaku tentang kekayaan hatimu,
Yang jauh lebih besar daripada unsur Alam yang menggelodak
Di luar pintu.
Palanglah pintu dan patri engselnya,
Sebab wajah angkasa menekan semangatku
Dan pemandangan ladang-ladang salju
Menimbulkan tangis dalam jiwaku.

Tuangkan minyak ke dalam lampu, jangan biarkan ia pudar,
Letakkan dekat wajahmu, supaya aku boleh membaca dalam tangis
Apa yang telah ditulis pada wajahmu
Tentang kehidupan kau bersamaku..

Berilah aku anggur Musim Gugur, dan mari minum bersama
Sambil mendendangkan lagu kenangan pada ghairah Musim Bunga
Dan layanan hangat Musim Panas, serta anugerah
tuaian dari Musim Gugur.

Dekatlah padaku, oh kekasih jiwaku; api mendingin dalam tungku,
Menyelinap padam nyalanya satu-satu, dari timbunan abu
Dakaplah aku, sebab aku ngeri akan kesepian.
Lampu meredup, dan anggur minuman membuat mata sayu mengatup.
Mari kita saling berpandangan, sebelum mata tertutup.

Cari aku dengan rabaan, temui daku dalam pelukan
Lalu biarkan kabus malam merangkul jiwa kita menjadi satu
Kucuplah aku, kekasihku, kerana Musim Dingin,
Telah merenggut segala, kecuali bibir yang berkata:
Engkau dalam dakapan, oh Kekasihku Abadi,
Betapa dalam dan kuat samudera lena,
Dan betapa cepatnya subuh...
(Dari 'Dam'ah Wa Ibtisamah' -Setitis Air Mata Seulas Senyuman)

Khalil Gibran

SEMALAM

Semalam aku sendirian di dunia ini, kekasih;
dan kesendirianku... sebengis kematian...
Semalam diriku adalah sepatah kata yang tak bersuara...,
Di dalam fikiran malam.
Hari ini... aku menjelma menjadi sebuah nyanyian menyenangkan di atas lidah
hari.
Dan, ia berlangsung dalam seminit dari sang waktu yang melahirkan sekilas
pandang, sepatah kata, sebuah desakan dan... sekucup ciuman

Khalil Gibran

ANTARA PAGI DAN MALAM HARI

TENANGLAH hatiku, kerana langit tak pun mendengari
Tenanglah, kerana bumi dibebani dengan ratapan kesedihan.
Dia takkan melahirkan melodi dan nyanyianmu.
Tenanglah, kerana roh-roh malam tak menghiraukan bisikan rahsiamu, dan
bayang-bayang tak berhenti dihadapan mimpi-mimpi.
Tenanglah, hatiku. Tenanglah hingga fajar tiba, kerana dia yang menanti pagi
dengan sabar akan menyambut pagi dengan kekuatan. Dia yang mencintai
cahaya, dicintai cahaya.
Tenanglah hatiku, dan dengarkan ucapanku.

DALAM mimpi aku melihat seekor murai menyanyi saat dia terbang di atas
kawah gunung berapi yang meletus.
Kulihat sekuntum bunga Lili menyembulkan kelopaknya di balik salju.
Kulihat seorang bidadari telanjang menari-menari di antara batu-batu kubur.
Kulihat seorang anak tertawa sambil bermain dengan tengkorak-tengkorak.
Kulihat semua makhluk ini dalam sebuah mimpi. Ketika aku terjaga dan
memandang sekelilingku, kulihat gunung berapi memuntahkan nyala api, tapi
tak kudengar murai bernyanyi, juga tak kulihat dia terbang.
Kulihat langit menaburkan salju di atas padang dan lembah, dilapisi warna
putih mayat dari bunga lili yang membeku.
Kulihat kuburan-kuburan, berderet-deret, tegak di hadapan zaman-zaman
yang tenang. Tapi tak satu pun kulihat di sana yang bergoyang dalam tarian,
juga tidak yang tertunduk dalam doa.
Saat terjaga, kulihat kesedihan dan kepedihan; ke manakah perginya
kegembiraan dan kesenangan impian?
Mengapa keindahan mimpi lenyap, dan bagaimana gambaran-gambarannya
menghilang? Bagaimana mungkin jiwa tertahan sampai sang tidur membawa
kembali roh-roh dari hasrat dan harapannya?

DENGARLAH hatiku, dan dengarlah ucapanku.
Semalam jiwaku adalah sebatang pohon yang kukuh dan tua, menghunjam
akar-akarnya ke dasar bumi dan cabang-cabangnya mencekau ke arah yang
tak terhingga.
Jiwaku berbunga di musim bunga, memikul buah pada musim panas. Pada
musim gugur kukumpulkan buahnya di mangkuk perak dan kuletakkannya di
tengah jalan. Orang-orang yang lalu lalang mengambil dan memakannya, serta
meneruskan perjalanan mereka.

KALA musim gugur berlalu dan gita pujinya bertukar menjadi lagu kematian
dan ratapan, kudapati semua orang telah meninggalkan diriku kecuali satu-
satunya buah di talam perak.
Kuambil ia dan memakannya, dan merasakan pahitnya bagai kayu gaharu,
masam bak anggur hijau.
Aku berbicara dalam hati,"Bencana bagiku, kerana telah kutempatkan
sebentuk laknat di dalam mulut orang-orang itu, dan permusuhan dalam
perutnya.
" Apa yang telah kaulakukan, jiwaku, dengan kemanisan akar-akarmu itu yang
telah meresap dari usus besar bumi, dengan wangian daun-daunmu yang telah
meneguk cahaya matahari?"
Lalu kucabut pohon jiwaku yang kukuh dan tua.
Kucabut akarnya dari tanah liat yang di dalamnya dia telah bertunas dan
tumbuh dengan subur. Kucabut akar dari masa lampaunya, menanggalkan
kenangan seribu musim bunga dan seribu musim gugur.
Dan kutanam sekali lagi pohon jiwaku di tempat lain.
Kutanam dia di padang yang tempatnya jauh dari jalan-jalan waktu.
Kulewatkan malam dengan terjaga di sisinya, sambil berkata,"Mengamati
bersama malam yang membawa kita mendekati kerlipan bintang."
Aku memberinya minum dengan darah dan airmataku, sambil
berkata,"Terdapat sebentuk keharuman dalam darah, dan dalam airmata
sebentuk kemanisan."
Tatkala musim bunga tiba, jiwaku berbunga sekali lagi.

PADA musim panas jiwaku menyandang buah. Tatkala musim gugur tiba,
kukumpulkan buah-buahnya yang matang di talam emas dan kuletakkan di
tengah jalan. Orang-orang melintas, satu demi satu atau dalam kelompok-
kelompok, tapi tak satu pun menghulurkan tangannya untuk mengambil
bahagiannya.
Lalu kuambil sebuah dan memakannya, merasakan manisnya bagai madu
pilihan, lazat seperti musim bunga dari syurga, sangat menyenangkan laksana
anggur Babylon, wangi bak wangi-wangian dari melati.
Aku menjerit,"Orang-orang tak menginginkan rahmat pada mulutnya atau
kebenaran dalam usus mereka, kerana rahmat adalah puteri airmata dan
kebenaran putera darah!"
Lalu aku beralih dan duduk di bawah bayangan pohon sunyi jiwaku di sebuah
padang yang tempatnya jauh dari jalan waktu.

TENANGLAH, hatiku, hingga fajar tiba.
Tenanglah, kerana langit menghembus bau hamis kematian dan tak bisa
meminum nafasmu.
Dengarkan, hatiku, dan dengarkan aku bicara.
Semalam fikiranku adalah kapal yang terumbang-ambing oleh gelombang laut
dan digerakkan oleh angin dari pantai ke pantai
Kapal fikiranku kosong kecuali untuk tujuh cawan yang dilimpahi dengan
warna-warna, gemilang berwarna-warni.
Sang waktu datang kala aku merasa jemu terapung-apungan di atas
permukaan laut dan berkata,
"Aku akan kembali ke kapal kosong fikiranku menuju pelabuhan kota tempat
aku dilahirkan."
Tatkala kerjaku selesai, kapal fikiranku
Aku mulai mengecat sisi-sisi kapalku dengan warna-warni - kuning matahari
terbenam, hijau musim bunga baru, biru kubah langit, merah senjakala yang
menjadi kecil. Pada layar dan kemudinya kuukirkan susuk-susuk menakjubkan,
menyenangkan mata dan menyenangkan penglihatan.
Tatkala kerjaku selesai, kapal fikiranku laksana pandangan luas seorang nabi,
berputar dalam ketidakterbatasan laut dan langit. Kumasuki pelabuhan
kotaku, dan orang muncul menemuiku dengan pujian dan rasa terima kasih.
Mereka membawaku ke dalam kota, memukul gendang dan meniup seruling.
Ini mereka lakukan kerana bahagian luar kapalku yang dihias dengan
cemerlang, tapi tak seorang pun masuk ke dalam kapal fikiranku.
Tak seorang pun bertanya apakah yang kubawa dari seberang lautan
Tak seorang pun tahu kenapa aku kembali dengan kapal kosongku ke
pelabuhan.
Lalu kepada diriku sendiri, aku berkata,"Aku telah menyesatkan orang-orang,
dan dengan tujuh cawan warna telah kudustai mata mereka"

Setelah setahun aku menaiki kapal fikiranku dan kulayari di laut untuk kedua
kalinya.
Aku berlayar menuju pulau-pulau timur, dan mengisi kapalku dengan dupa dan
kemenyan, pohon gaharu dan kayu cendana.
Aku berlayar menuju pulau-pulau barat, dan membawa bijih emas dan gading,
batu merah delima dan zamrud, dan sulaman serta pakaian warna merah
lembayung.
Dari pulau-pulau selatan aku kembali dengan rantai dan pedang tajam,
tombak-tombak panjang, serta beraneka jenis senjata.
Aku mengisi kapal fikiranku dengan harta benda dan barang-barang lhasil
bumi dan kembali ke pelabuhan kotaku, sambil berkata, "Orang-orangku pasti
akan memujiku, memang sudah pastinya. Mereka akan menggendongku ke
dalam kota sambil menyanyi dan meniup trompet"
Tapi ketika aku tiba di pelabuhan, tak seorangpun keluar menemuiku. Ketika
kumasuki jalan-jalan kota, tak seorang pun memerhatikan diriku.
Aku berdiri di alun-alun sambil mengutuk pada orang-orang bahawa aku
membawa buah dan kekayaan bumi. Mereka memandangku, mulutnya penuh
tawa, cemuhan pada wajah mereka. Lalu mereka berpaling dariku.
Aku kembali ke pelabuhan, kesal dan bingung. Tak lama kemudian aku melihat
kapalku. Maka aku melihat perjuangan dan harapan dari perjalananku yang
menghalangi perhatianku. Aku menjerit.
Gelombang laut telah mencuri cat dari sisi-sisi kapalku, tak meninggalkan apa
pun kecuali tulang belulang yang bertaburan.
Angin, badai dan terik matahari telah menghapus lukisan-lukisan dari layar,
memudarkan ia seperti pakaian berwarna kelabu dan usang.
Kukumpulkan barang-barang hasil dan kekayaan bumi ke dalam sebuah perahu
yang terapung di atas permukaan air. Aku kembali ke orang-orangku, tapi
mereka menolak diriku kerana mata mereka hanya melihat bahagian luar.
Pada saat itu kutinggalkan kapal fikiranku dan pergi ke kota kematian. Aku
duduk di antara kuburan-kuburan yang bercat kapur, merenungkan rahsia-
rahsianya.

TENANGLAH, hatiku, hingga fajar tiba.
Tenanglah, meskipun prahara yang mengamuk mencerca bisikan-bisikan
batinmu, dan gua-gua lembah takkan menggemakan bunyi suaramu.
Tenanglah, hatiku, hingga fajar tiba. Kerana dia yang menantikan dengan
sabar hingga fajar, pagi hari akan memeluknya dengan semangat.
NUN di sana! Fajar merekah, hatiku. Bicaralah, jika kau mampu bicara!
Itulah arak-arakan sang fajar, hatiku! Akankah hening malam melumpuhkan
kedalaman hatimu yang menyanyi menyambut fajar?
Lihatlah kawanan merpati dan burung murai melayang di atas lembah.
Akankah kengerian malam menghalangi engkau untuk menduduki sayap
bersama mereka?
Para pengembala memandu kawanan dombanya dari tempat ternak dan
kandang.
Akankah roh-roh malam menghalangimu untuk mengikuti mereka ke padang
rumput hijau?
Anak lelaki dan perempuan bergegas menuju kebun anggur. Kenapa kau tak
berganjak dan berjalan bersama mereka?
Bangkitlah, hatiku, bangkit dan berjalan bersama fajar, kerana malam telah
berlalu. Ketakutan malam lenyap bersama mimpi gelapnya.
Bangkitlah, hatiku, dan lantangkan suaramu dalam nyanyian, kerana hanya
anak-anak kegelapan yang gagal menyatu ke dalam nyanyian sang fajar.

Khalil Gibran

7 ALASAN MENCELA DIRI

Tujuh kali aku pernah mencela jiwaku,
pertama kali ketika aku melihatnya lemah,
padahal seharusnya ia bisa kuat.

Kedua kali ketika melihatnya berjalan terjongket-jongket
dihadapan orang yang lumpuh
Ketiga kali ketika berhadapan dengan pilihan yang sulit dan mudah
ia memilih yang mudah

Keempat kalinya, ketika ia melakukan kesalahan dan cuba menghibur diri
dengan mengatakan bahawa semua orang juga melakukan kesalahan

Kelima kali, ia menghindar kerana takut, lalu mengatakannya sebagai sabar

Keenam kali, ketika ia mengejek kepada seraut wajah buruk
padahal ia tahu, bahawa wajah itu adalah salah satu topeng yang sering ia
pakai

Dan ketujuh, ketika ia menyanyikan lagu pujian dan menganggap itu sebagai
suatu yang bermanfaat

Kahlil Gibran

SETITIS AIRMATA DAN SEULAS SENYUMAN

Takkan kutukar dukacita hatiku demi kebahagiaan khalayak. Dan, takkan
kutumpahkan air mata kesedihan yang mengalir dari tiap bahagian diriku
berubah menjadi gelak tawa. Kuingin diriku tetaplah setitis air mata dan
seulas senyuman.

Setitis airmata yang menyucikan hatiku dan memberiku pemahaman rahsia
kehidupan dan hal ehwal yang tersembunyi. Seulas senyuman menarikku dekat
kepada putera kesayanganku dan menjelma sebuah lambang pemujaan kepada
tuhan.

Setitis airmata meyatukanku dengan mereka yang patah hati; Seulas senyum
menjadi sebuah tanda kebahagiaanku dalam kewujudan.

Aku merasa lebih baik jika aku mati dalam hasrat dan kerinduan berbanding
jika aku hidup menjemukan dan putus asa.

Aku bersedia kelaparan demi cinta dan keindahan yang ada di dasar jiwaku
setelah kusaksikan mereka yang dimanjakan amat menyusahkan orang. Telah
kudengar keluhan mereka dalam hasrat kerinduan dan itu lebih manis
daripada melodi yang termanis.

Ketika malam tiba bunga menguncupkan kelopak dan tidur, memeluk
kerinduannya. tatkala pagi menghampiri, ia membuka bibirnya demi
menyambut ciuman matahari.

Kehidupan sekuntum bunga sama dengan kerinduan dan pengabulan. Setitis
airmata dan seulas senyuman.

Air laut menjadi wap dan naik menjelma menjadi segumpal mega. Awan
terapung di atas pergunungan dan lembah ngarai hingga berjumpa angin sepoi
bahasa, jatuh bercucuran ke padang-padang lalu bergabung bersama aliran
sungai dan kembali ke laut, rumahnya.

Kehidupan awan-gemawan itu adalah sesuatu perpisahan dan pertemuan. Bagai
setitis airmata seulas senyuman. Dan, kemudian jiwa jadi terpisahkan dari
jiwa yang lebih besar, bergerak di dunia zat melintas bagai segumpal mega
diatas pergunungan dukacita dan dataran kebahagiaan.

Menuju samudera cinta dan keindahan - kepada Tuhan.

Khalil Gibran

Tidak ada komentar:

Posting Komentar