Jumat, 14 Oktober 2011

PUISI KARYA-KARYA KHALIL GIBRAN (1833-1931) PART II

ALAM & MANUSIA

Aku mendengar anak sungai merintih bagai seorang janda yang menangis
meratapi kematian anaknya dan aku kemudian bertanya, "Mengapa engkau
menangis, sungaiku yang jernih?' Dan sungai itu menjawab, 'Sebab aku
dipaksa mengalir ke kota tempat Manusia merendahkan dan mensia-siakan
diriku dan menjadikanku minuman-minuman keras dan mereka
memperalatkanku bagai pembersih sampah, meracuni kemurnianku dan
mengubah sifat-sifatku yang baik menjadi sifat-sifat buruk."

Dan aku mendengar burung-burung menangis, dan aku bertanya, "Mengapa
engkau menangis, burung-burungku yang cantik?"

Dan salah satu dari burung itu terbang mendekatiku, dan hinggap di hujung
sebuah cabang pohon dan berkata, "Anak-anak Adam akan segera datang di
ladang ini dengan membawa senjata-senjata pembunuh dan menyerang kami
seolah-olah kami adalah musuhnya. Kami sekarang terpisah di antara satu
sama yang lain, sebab kami tidak tahu siapa di antara kami yang bisa selamat
dari kejahatan Manusia. Ajal memburu kami ke mana pun kami pergi."

Kini, matahari terbit dari balik puncak pergunungan, dan menyinari puncak-
puncak pepohonan dengan rona mahkota. Kupandangi keindahan ini dan aku
bertanya kepada diriku sendiri, 'Mengapa Manusia mesti menghancurkan
segala karya yang telah diciptakan oleh alam?'

Khalil Gibran

CINTA (I)

Lalu berkatalah Almitra, Bicaralah pada kami perihal Cinta.

Dan dia mengangkatkan kepalanya dan memandang ke arah kumpulan manusia
itu, dan keheningan menguasai mereka. Dan dengan suara lantang dia berkata:

Pabila cinta memberi isyarat kepadamu, ikutilah dia,
Walau jalannya sukar dan curam.
Dan pabila sayapnya memelukmu menyerahlah kepadanya.
Walau pedang tersembunyi di antara hujung-hujung sayapnya bisa melukaimu.
Dan kalau dia berbicara padamu percayalah padanya.
Walau suaranya bisa menggetar mimpi-mimpimu bagai angin utara
membinasakan taman.
Kerana sebagaimana cinta memahkotai engkau, demikian pula dia akan
menghukummu.
Sebagaimana dia ada untuk menyuburkanmu, demikian pula dia ada untuk
mencantasmu.

Sebagaimana dia mendaki ke puncakmu dan membelai mesra ranting-ranting
lembutmu yang bergetar dalam cahaya matahari.
Demikian pula dia akan menghunjam ke akarmu dan menggegarkannya di dalam
pautanmu pada bumi.
Laksana selonggok jagung dia menghimpun engkau pada dirinya.

Dia menghempuk engkau hingga kau telanjang
Dia mengasing-asingkan kau demi membebaskan engkau dari kulitmu.
Dia menggosok-gosok engkau sampai putih bersih.
Dia meramas engkau hingga kau menjadi lembut;
Dan kemudian dia mengangkat engkau ke api sucinya sehingga engkau bisa
menjadi hidangan suci untuk pesta kudus Tuhan.

Semua ini akan ditunaikan padamu oleh Sang Cinta, supaya bisa kau fahami
rahsia hatimu, dan di dalam pemahaman dia menjadi sekeping hati Kehidupan.

Namun pabila dalam ketakutanmu kau hanya akan mencari kedamaian dan
kenikmatan cinta.

Maka lebih baiklah bagimu untuk menutupi tubuhmu dan melangkah keluar
dari lantai-penebah cinta.

Memasuki dunia tanpa musim tempat kau dapat tertawa, tapi tak seluruh
gelak tawamu, dan menangis, tapi tak sehabis semua airmatamu.

Cinta tak memberikan apa-apa kecuali dirinya sendiri dan tiada mengambil
apa-apa pun kecuali dari dirinya sendiri.
Cinta tiada memiliki, pun tiada ingin dimiliki;
Kerana cinta telah cukup bagi cinta.

Pabila kau mencintai kau takkan berkata, "Tuhan ada di dalam hatiku," tapi
sebaliknya, "Aku berada di dalam hati Tuhan."

Dan jangan mengira kaudapat mengarahkan jalannya Cinta, sebab cinta, pabila
dia menilaimu memang pantas, mengarahkan jalanmu.
Cinta tak menginginkan yang lain kecuali memenuhi dirinya. Namun pabila kau
mencintai dan memerlukan keghairahan, biarlah ini menjadi keghairahanmu:

Luluhkan dirimu dan mengalirlah bagaikan anak sungai, yang menyanyikan
alunannnya bagai sang malam.

Kenalilah penderitaan dari kelembutan yang begitu jauh.
Rasa dilukai akibat pemahamanmu sendiri tentang cinta;
Dan menitiskan darah dengan ikhlas dan gembira.
Terjaga di kala fajar dengan hati berawangan dan mensyukuri hari baru
penuh cahaya kasih;

Istirah di kala siang dan merenungkan kegembiraan cinta yang meluap-luap;

Kembali ke rumah di kala senja dengan rasa syukur;

Dan kemudian tidur bersama doa bagi kekasih di dalam hatimu dan sekuntum
nyanyian puji-pujian pada bibirmu.

(Dari 'Sang Nabi')

Khalil Gibran

CINTA (II)

Mereka berkata tentang serigala dan tikus
Minum di sungai yang sama
Di mana singa melepas dahaga

Mereka berkata tentang helang dan hering
Menjunam paruhnya ke dalam bangkai yg sama
Dan berdamai - di antara satu sama lain,
Dalam kehadiran bangkai - bangkai mati itu

Oh Cinta, yang tangan lembutnya
mengekang keinginanku
Meluapkan rasa lapar dan dahaga
akan maruah dan kebanggaan,
Jangan biarkan nafsu kuat terus menggangguku
Memakan roti dan meminum anggur
Menggoda diriku yang lemah ini
Biarkan rasa lapar menggigitku,
Biarkan rasa haus membakarku,
Biarkan aku mati dan binasa,
Sebelum kuangkat tanganku
Untuk cangkir yang tidak kau isi,
Dan mangkuk yang tidak kau berkati

(Dari 'The Forerunner))

Kahlil Gibran

CINTA (III)

Kelmarin aku berdiri berdekatan pintu gerbang sebuah rumah ibadat dan
bertanya kepada manusia yang lalu-lalang di situ tentang misteri dan kesucian
cinta.
Seorang lelaki setengah baya menghampiri, tubuhnya rapuh wajahnya gelap.
Sambil mengeluh dia berkata, "Cinta telah membuat suatu kekuatan menjadi
lemah, aku mewarisinya dari Manusia Pertama."

Seorang pemuda dengan tubuh kuat dan besar menghampiri. Dengan suara
bagai menyanyi dia berkata, "Cinta adalah sebuah ketetapan hati yang
ditumbuhkan dariku, yang rnenghubungkan masa sekarang dengan generasi
masa lalu dan generasi yang akan datang.'

Seorang wanita dengan wajah melankolis menghampiri dan sambil mendesah,
dia berkata, 'Cinta adalah racun pembunuh, ular hitam berbisa yang
menderita di neraka, terbang melayang dan berputar-putar menembusi langit
sampai ia jatuh tertutup embun, ia hanya akan diminum oleh roh-roh yang
haus. Kemudian mereka akan mabuk untuk beberapa saat, diam selama satu
tahun dan mati untuk selamanya.'
Seorang gadis dengan pipi kemerahan menghampiri dan dengan tersenyum dia
berkata, "Cinta itu laksana air pancuran yang digunakan roh pengantin sebagai
siraman ke dalam roh orang-orang yg kuat, membuat mereka bangkit dalam
doa di antara bintang-bintang di malam hari dan senandung pujian di depan
matahari di siang hari.'

Setelah itu seorang lelaki menghampiri. Bajunya hitam, janggutnya panjang
dengan dahi berkerut, dia berkata, "Cinta adalah ketidakpedulian yang buta.
la bermula dari hujung masa muda dan berakhir pada pangkal masa muda.'

Seorang lelaki tampan dengan wajah bersinar dan dengan bahagia berkata,
'Cinta adalah pengetahuan syurgawi yang menyalakan mata kita. Ia
menunjukkan segala sesuatu kepada kita seperti para dewa melihatnya.'

Seorang bermata buta menghampiri, sambil mengetuk-ngetukkan tongkatnya
ke tanah dan dia kemudian berkata sambil menangis, 'Cinta adalah kabus
tebal yang menyelubungi gambaran sesuatu darinya atau yang membuatnya
hanya melihat hantu dari nafsunya yang berkelana di antara batu karang, tuli
terhadap suara-suara dari tangisnya sendiri yang bergema di lembah-
lembah.'

Seorang pemuda, dengan membawa sebuah gitar menghampiri dan menyanyi,
'Cinta adalah cahaya ghaib yang bersinar dari kedalaman kehidupan yang peka
dan mencerahkan segala yang ada di sekitarnya. Engkau bisa melihat dunia
bagai sebuah perarakan yang berjalan melewati padang rumput hijau.
Kehidupan adalah bagai sebuah mimpi indah yang diangkat dari kesedaran dan
kesedaran.'

Seorang lelaki dengan badan bongkok dan kakinya bengkok bagai potongan-
potongan kain menghampiri. Dengan suara bergetar, dia berkata, "Cinta
adalah istirahat panjang bagi raga di dalam kesunyian makam, kedamaian bagi
jiwa dalam kedalaman keabadian.’

Seorang anak kecil berumur lima tahun menghampiri dan sambil tertawa dia
berkata, "Cinta adalah ayahku, cinta adalah ibuku. Hanya ayah dan ibuku yang
mengerti tentang cinta."

Waktu terus berjalan. Manusia terus-menerus melewati rumah ibadat.
Masing-masing mempunyai pandangannya tersendiri tentang cinta. Semua
menyatakan harapan-harapannya dan mengungkapkan misteri-misteri
kehidupannya.

Khalil Gibran

IBU

Ibu merupakan kata tersejuk yang dilantunkan oleh bibir - bibir manusia.
Dan "Ibuku" merupakan sebutan terindah.
Kata yang semerbak cinta dan impian, manis dan syahdu yang memancar dari
kedalaman jiwa.

Ibu adalah segalanya. Ibu adalah penegas kita dilaka lara, impian kta dalam
rengsa, rujukan kita di kala nista.
Ibu adalah mata air cinta, kemuliaan, kebahagiaan dan toleransi. Siapa pun
yang kehilangan ibinya, ia akan kehilangan sehelai jiwa suci yang senantiasa
merestui dan memberkatinya.

Alam semesta selalu berbincang dalam bahasa ibu. Matahari sebagai ibu bumi
yang menyusuinya melalui panasnya.
Matahari tak akan pernah meninggalkan bumi sampai malam merebahkannya
dalam lentera ombak, syahdu tembang beburungan dan sesungaian.

Bumi adalah ibu pepohonan dan bebungaan. Bumi menumbuhkan, menjaga dan
membesarkannya. Pepohonan
dan bebungaan adalah ibu yang tulus memelihara bebuahan dan bebijian.

Ibu adalah jiwa keabadian bagi semua wujud.
Penuh cinta dan kedamaian.

Khalil Gibran
RAHSIA JODOH

Berpasangan engkau telah diciptakan
Dan selamanya engkau akan berpasangan
Bergandingan tanganlah dikau
Hingga sayap-sayap panjang nan lebar lebur dalam nyala
Dalam ikatan agung menyatu kalian

Saling menataplah dalam keharmonian
Dan bukanlah hanya saling menatap ke depan
Tapi bagaimana melangkah ke tujuan semula

Berpasangan engkau dalam mengurai kebersamaan
Kerana tidak ada yang benar-benar mampu hidup bersendirian
Bahkan keindahan syurga tak mampu menghapus kesepian Adam

Berpasangan engkau dalam menghimpun rahmat Tuhan Ya, bahkan bersama
pula dalam menikmatinya
Kerana alam dan kurniaan Tuhan
Terlampau luas untuk dinikmati sendirian

Bersamalah engkau dalam setiap keadaan
Kerana kebahagiaan tersedia, bagi mereka yang menangis
Bagi mereka yang disakiti hatinya, bagi mereka yang mencari,
bagi mereka yang mencuba
Dan bagi mereka yang mampu memahami erti hidup bersama
Kerana mereka itulah yang menghargai pentingnya
orang-orang yang pernah hadir dalam kehidupan mereka

Bersamalah dikau sampai sayap-sayap sang maut meliputimu
Ya, bahkan bersama pula kalian dalam musim sunyi
Namun biarkan ada ruang antara kebersamaan itu
Tempat angin syurga menari-nari diantara bahtera sakinahmu

Berkasih-kasihlah, namun jangan membelenggu cinta
Biarkan cinta mengalir dalam setiap titisan darah
Bagai mata air kehidupan
Yang gemerciknya senantiasa menghidupi pantai kedua jiwa
Saling isilah minumanmu tapi jangan minum dari satu piala
Saling kongsilah rotimu tapi jangan makan dari pinggan yang sama..

Menyanyilah dan menarilah bersama dalam suka dan duka
Hanya biarkan masing-masing menghayati waktu sendirinya
Kerana dawai-dawai biola, masing-masing punya kehidupan sendiri
Walau lagu yang sama sedang menggetarkannya
Sebab itulah simfoni kehidupan

Berikan hatimu namun jangan saling menguasainya

Jika tidak, kalian hanya mencintai pantulan diri sendiri
Yang kalian temukan dalam dia
Dan lagi, hanya tangan kehidupan yang akan mampu merangkulnya

Tegaklah berjajar namun jangan terlampau dekat
Bukankah tiang-tiang candi tidak dibina terlalu rapat?
Dan pohon jati serta pohon cemara
Tidak tumbuh dalam bayangan masing-masing?

Khalil Gibran

PERJAMUAN JIWA

BANGUNLAH, Cintaku. Bangun! Kerana jiwaku mengalu-alumu dari dasar laut,
dan menawarkan padamu sayap-sayap di atas gelombang yang mengamuk
Bangunlah, kerana sunyi telah menghentikan derap kaki kuda dan langkah para
pejalan kaki.

Rasa kantuk telah memeluk roh setiap laki-laki, sementara aku terbangun
sendiri, rasa rindu membukakan kertas surat tidurku.
Cinta membawaku dekat denganmu, namun kebimbangan melemparkan diriku
menjauh darimu.

Aku telah membuang bukuku, kerana keluhku mengunci kata-kata dan desah
nafasku meninggalkan tempat tidurku, Cintaku, kerana takut pada hantu lupa
yang berada di balik selimut.
Aku telah membuang bukuku, kerana keluhku mengunci kata-kata dan desah
nafasku meninggalkan halaman buku yang kosong di depan mataku!
Bangun, bangunlah, Cintaku dan dengar diriku!
Aku mendengarkanmu, Cintaku! Aku mendengar panggilanmu dari lautan lepas
dan merasakan lembutnya sentuhan sayapmu. Aku telah jauh dari ranjangku,
beranjak ke tanah lapang, hingga embun membasahi kaki dan bajuku. Di sinilah
aku berdiri, dibawah bunga-bunga pohon badam, memenuhi panggilan jiwamu.

Bicaralah padaku, Cintaku, dan biarkan nafasmu menghirup angin gunung yang
datang padaku dari lembah-lembah Lebanon. Bicaralah. Tak ada yang akan
mendengar selain diriku. Malam telah melarutkan semua manusia ditempat
tidurnya.
Syurga telah menyulam cahaya rembulan dan menghamparkannya ke seluruh
daratan Lebanon, Cintaku.
Syurga telah meriasnya dengan bayangan malam, jubah tebal membentang
dihembus asap dari cerobong kain, dihembus nafas kemari, dan mengelarnya
di telapak kota, Cintaku.

Para penduduk telah pulas menganyam mimpi di ubun-ubunnya di tengah
pohon-pohon kenari. Jiwa mereka mempercepatkan langkah mengejar negeri
mimpi, Cintaku.
Lelaki-lelaki longlai menggendong emas, dan tebing curam yang akan dilalui
melemaskan lutut mereka. Mata mereka mengantuk kerana dililit kesulitan
dan ketakutan. Mereka melemparkan tubuh ke tempat tidur sebagai tempat
berlindung dari hantu-hantu yang menakutkan dan mengerikan, Cintaku.
Hantu-hantu dari masa lalu berkeliaran di lembah-lembah. Jiwa para raja
melintasi bukit-bukit. Fikiranku yang berhias kenangan menyingkap kekuatan
bangsa Chaldea, kemegahan Arab.

Di lorong-lorong gelap, jiwa-jiwa pencuri yang tegap berjalan, muncung-
muncung nafsu ular berbisa muncul dari celah-celah benteng, dan rasa sakit
berdengung kematian, muntah-muntah sepanjang jalan. Kenangan menyingkap
tabir kelupaan dari mataku dan nampaklah Sodom yang menjijikkan, serta
dosa-dosa Gomorah.

Ranting-ranting berayun-ayun, Cintaku, dan desirnya bertemu dengan alunan
anak sungai di lembah. Syair-syair Sulaiman, nada kecapi Daud dan lagu Ishak
Al-Mausaili terngiang-ngiang di telinga kami.
Jiwa anak-anak yang lapar di penginapan menggelupur, ibunya mengeluh di
atas kamar kesedihan, dan kekecewaan telah jatuh dari langit. Mimpi-mimpi
kebimbangan melanda hati yang lemah. Aku mendengar rintihan pahitnya.
Semerbak bunga melambai seiring nafas pohon-pohon cedar. Terbawa angin
sepoi-sepoi menuju perbukitan, harum itu mengisi jiwa dengan kasih sayang
dan meniupkan kerinduan untuk terbang.

Tetapi racun dari rawa-rawa jug berkelana mengepul bersama penyakit.
Seperti panah rahsia yang tajam, racun itu telah menembusi perasaan dan
meracuni udara.

Tanpa kusedari matahari telah mengilaukan cahaya pagi, Cintaku, dan jari-jari
timur yang lentik menimang mata-mata orang yang terlelap. Cahaya itu
memaksa mereka untuk membuka daun jendela dan menyelak hati dan
kemenangan. Desa-desa, yang sedang tertidur dalam damai dan tenang di
pundak-pundak lembah, bangun, loceng-loceng berdenting memenuhi angkasa
sebagai panggilan untuk mula berdoa. Dan dari gua-gua, gema-gema juga
berdengung, seolah-olah seluruh alam sedang berdoa bersama-sama dengan
khusyuknya. Anak-anak sapi telah keluar dari kandangnya, biri-biri dan
kambing meninggalkan bangsalnya untuk menuai rumput yang berembun dan
berkilatan cahaya. Penggembalanya mengikuti dari belakang sambil
mengamatinya di balik lelalang. Di belakangnya lagi gadis-gadis bernyanyi
seperti burung menyambut pagi.

Kini tangan siang hari yang perkasa terbaring di atas kota. Tirai telah diselak
dari jendela dan pintu pun terbuka. Mata yang penat dan wajah lesu para
penjahit telah siap di tempat kerjanya. Mereka merasakan kematian telah
melanggar batas kehidupan mereka, dan riak muka yang layu mempamerkan
ketakutan dan kekecewaan. Di jalanan padat dengan jiwa-jiwa yang tamak dan
tergesa-gesa, dan di mana-mana terdengar desingan besi, pusingan roda dan
siulan angin. Kota telah menjadi arena pertempuran di mana yang kuat
menindas yang lemah dan si kaya mengeksploitasi dan menguasai si miskin.

Betapa indah hidup ini, Cintaku, seperti hati penyair yang penuh dengan
cahaya dan kelembutan hati.
Dan betapa kerasnya hidup ini, Cintaku, seperti dada penjahat, yang
berdebar-debar kerana selalu merasa bimbang dan takut.

Khalil Gibran

Tidak ada komentar:

Posting Komentar